AMAN Berhasil Memediasi Penyelesaian Tapal Batas Boafeo dan Mbotutenda

ENDE. Nusa bunga.- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Nusa Bunga berhasil memediasi penyelesaian tapal batas di kawasan hutan Padha Mbewu antara desa Mbotutenda dan desa Boafeo yang selama ini terjadi pengklaiman diantara kedua desa tersebut sebagai pemilik atas tanah ulayat hutan tersebut.

Mediasi penyelesaian tapal batas itu terjadi di Kantor Desa Boafeo pada Juma’t (17/11) dalam musyawarah tapal batas yang melibatkan kedua kepala desa masing – masing (Kepala desa Boafeo, Quintus Laja dan Kepala desa Pemo Mbotutenda, Florianus Rengi), kedua Mosalaki masing – masing (mosalaki Tana Mudegagi, Epifanus Labhu dan mosalaki Uzlu Pu’u Mukhu Eko Rewu Sura, Vinsensius Mari) para tokoh masyarakat dan stakeholder yang ada di desa Boafeo.

Mosalaki pu’u Komunitas Adat Uzlu Pu’u Muku Eko Rewu Sura, Vinsensius Mari dalam forum musyawara tapal batas tersebut mengatakan persoalan tapal batas di hutan Padha Mbewu ini harus diselesaikan secara baik dengan suasana damai dan kekeluargaan agar tidak terjadi persoalan yang muncul di kemudian hari.

Penanadatnganan berita acara tapal batas
“Kita harus punya kesepakatan bersama untuk menentukan tapal batas Padha Mbewu dari sekarang agar tidak menitipkan persoalan untuk anak cucu kita yang akan datang,” katanya.

Dalam diskusi itu, hal yang sama juga diungkapkan Mosalaki Tana Mudegagi, Epifanus Labhu yang bersepakat dengan hasil keputusan diskusi bersama di ruangan kepala desa. Dirinya berharap agar kesepakatan yang menjadi sejarah baru dalam penentuan tapal batas Padha Mbewu ini dapat dituturkan kepada anak cucu yang akan datang agar tidak lagi terjadi saling klaim tapal batas di wilayah itu.

“Saya sependapat dengan apa yang telah kita sepakati bersama ini sehingga hari ini menjadi sejarah baru untuk kita dan anak cucu kita yang akan datang agar tidak te rjadi lagi pengklaiman batas wilayah di Padha Mbewu” tuturnya.

Sementara itu Hans Gaga, Biro UKP3 AMAN Nusa Bunga mengatakan penyelesaian tapal batas antara Boafeo dan Pemo Mbotutenda merupakan rujukan dasar untuk melakukan pemetaan wilayah adat dalam sebuah desa.

”Syarat utama dalam pemetaan partisipasif harus ada kesepakatan tapal batas antar wilayah yang dituangkan dalam berita acara tapal batas,” tegasnya.

Lebih lanjut Hans menegaskan bahwa dokumen berita acara tersebut digunakan sebagai bukti kekuatan hukum untuk memperjelas batas wilayah agar dikemudian hari tidak akan terjadi saling klaim antar wilayah yang satu dengan yang lain.

Seperti yang disaksikan jongflores.com sesaat sebelum hasil kesepakatan bersama atas tapal batas tersebut didiskusikan, mosalaki Tana Mudegagi dan kepala desa Pemo Mbotutenda bersama staf AMAN Nusa Bunga dan beberapa stakeholder desa Boafeo diundang secara khusus oleh mosalaki Uzlu Pu’u Muku Eko Rewu Sura dan kepala desa Boafeo guna menempati ruang khusus yang ada di kantor desa untuk berdiskusi dalam suasana kekeluargaan untuk menentukan tapal batas yang ada di hutan Padha Mbewu.

Usai diskusi, mosalaki Ulu Pu’u Muku Eko Rewu Sura mengumumkan hasil diskusi tersebut kepada forum musyawarah dimana wilayah hutan Padha Mbewu terbagi dalam dua wilayah yang sama rata yaitu sebelah utara menjadi wilayah Boafeo dan sebelah selatan menjadi wilayah Mbotutenda dengan penandatanganan berita acara kesepakatan tapal batas.(monajf)

Sumber : http://www.jongflores.com/2017/11/aman-berhasil-memediasi-penyelesaian.html

DPRD Ende dan Komitmen Terhadap Perda PPHMA

Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA) merupakan Perda Inisiatif DPRD Kabupaten Ende dan masuk dalam pogram legislasi daerah pada tahun 2015. Rentan waktu dari tahun 2015 hingga tahun ini tidak terlihat adanya keseriusan lembaga DPRD untuk melakukan pembahasan dan penetapan. Masyarakat adat berulang-ulang melakukan hearing bersama DPRD Kabupaten Ende. Hearing ini bertujuan untuk mempertanyakan perkembangan Perda itu dan sejauh mana kerja-kerja lembaga untuk melakukan pembahasan dan penetapannya namun dalam setiap pertemuan, lembaga selalu memberikan janji yang muluk kepada masyarakat adat dengan mengatakan akan ditetapkan dalam waktu dekat.

Beberapa bulan lalu AMAN melakukan hearing bersama lembaga DPRD. Lembaga DPRD menyampaikan akan dibahas dan ditetapkan pada perubahan anggaran di bulan sepetember tahun ini. Namun dalam rentan waktu bulan Sepetember hingga sekarang, tidak kelihatan kerja-kerja lembaga.

Lembaga DPRD Kabupaten Ende hingga saat ini tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri. Ketidakkonsistenan ini sangat berpengaruh pada kepercayaaan publik kepada wakil rakyat kita karena Perda PPHMA secara langsung sangat menyentuh kehidupan masyarakat adat di Kabupaten Ende yang sangat melekat dengan adat dan budaya. Dan ini menjadi kebutuhan konstituen saat ini. Olehnya itu sangat jelas implikasi politiknya.

Penulis mencoba menjabarkan beberapa alasan terkait dengan lambannya penetapan Perda masyarakat adat. Pertama lembaga DPRD tidak memahami alur legislasi daerah tentang masyarakat adat, kedua, lembaga tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan pembahasan dan penetapan Perda masyarakat adat. Perlu publik mengetahui alasan DPRD belum melakukan pembahasan dan penetapan Perda ini karena persoalan substansi dan janjinya akan melakukan pendalaman substansi. Sejauh ini lembaga DPRD tidak melakukan kerja-kerja konkrit sebagai dukungan statementnya.

Lembaga DPRD Kabupaten Ende juga perlu memahami bahwa Perda ini juga akan menunjukan sinergitas kerja antara eksekutif dan legislatif. Karena Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel dan Jafar) menggagas membangun Ende dengan tiga (3) batu tungku dan salah satunya adalah masyarakat adat. Kita jangan memahami urusan masyarakat adat itu hanya sebatas ceremonial-ceremonial saja. Berbicara mayarakat adat harus berbicara secara komprehensif. Masyarakat adat itu akan bersentuhan dengan sejarah asal-usul, wilayah adat, kelembagaan adat dan peradilan adat serta pengelolaan sumber daya alam. Untuk mendukung program tiga (3) batu tungku tersebut maka Perda inilah yang memperkuat program kerjanya Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Jafar). Dengan tidak terurusnya Perda ini menandakan bahwa DPRD Kabupaten Ende tidak mendukung program kerja Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Djafar).

Ketika berbicara payung hukum, konstitusi kita sangat jelas mengatur keberadaan masyarakat adat. Disamping itu juga didukung dengan undang-undang sektoral salah satunya undang-undang otonomi daerah yang sangat jelas memandatkan pengakuan masyarakat adat melalui Perda. Olehnya itu Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende dibenarkan secara hukum dan dibenarkan pula secara fakta yang terjadi di lapangan.

Sekali lagi penulis katakan bahwa DPRD Kabupaten Ende harus menganalisis lebih jauh dan cerdas melihat Perda ini karena Perda PPHMA merupakan jembatan untuk memulihkan hubungan daerah dengan masyarakat adat yang selama ini tidak terurus. Perda ini juga sebagai payung hukum daerah dan untuk mengkonkritkan program tiga (3) batu tungku yang digagas oleh Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Jafar) yangmana salah satu tungkunya adalah masyarakat adat.
Harapan dari tulisan ini agar lembaga DPRD Kabupaten Ende harus segera membahas dan menetapkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende untuk mendukung pembangunan daerah.(Edited by Simone welan, Infokom PW AMAN Nusa Bunga)

Daud P. Tambo, S.H, lahir di Ende, 4 Agustus 1986 adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Flores, Ende dan tinggal di Ende. Semasa kuliah aktif di organisasi LMND Eksekot Ende ( Devisi Perluasan Organisasi).
Bergabung di organisasi AMAN Wilayah Nusa Bunga , Direktorat Advokasi Hukum dan HAM. Peneliti sekaligus penulis Buku Konflik Agraria 40 kasus di Kawasan Hutan Indonesia. Penulis dan Peneliti Etnografi dengan judul : Masyarakat Adat Colol dan Golo Lebo Gugur Berkalang Tanah dan Bertarung Tiada Lelah Demi Tanah Warisan Leluhur, Penerbit : Sajogyo Institute, Jl. Malabar No. 2, Bogor 16151
Pendampingan kasus melalui Metode Inquiri Nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada Tahun 2014: Tragedi Berdarah Colol dan Pertambangan Mangan di Manggarai Timur.
Melakukan penelitia pasca Inquiri Nasional bersama Bina Desa dan sojogyo Institute dengan judul : Konflik Horizontal Pasca Inkuiri Nasional di Rembong (Golo Lebo) Manggarai Timur, tahun 2015
Tim Penulis : Naskah Akademik dan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende
Saat ini sedang mendampingi kasus masyarakat adat Rendu Butowe, Kab. Nagekeo dengan tipologi konflik pembangunan waduk lambo.(Edited by Simone Welan, Infokom AMAN Nusa Bunga)