Ritual Ho’in Hoka’ Wekin Wolo, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Lewotala-NTT

 

Kaka bapa atau tetua adat mengoleskan kemiri pada kerabat keluarga yang hadir dalam upacara penyembuhan. (Foto: Sutomo Hurint)

AMAN Nusa Nunga- Kampung Adat Lewotala di Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal dengan sebutan “Kampung Seribu Ritus”.

Sebutan ini melekat pada kampung Lewotala lantaran terdapat aneka upacara adat atau ritus yang hingga saat ini masih diselenggarakan dan dihidupi oleh masyarakat adat setempat.

AMAN Nusa Bunga, minggu ini mengangkat salah satu ritus adat di kampung Lewotala yakni ritus Ho’in Hoka’ Wekin Wolo atau ritual penyembuhan orang sakit dan pemurnian relasi.

Tuturan atau sapaan adat yang digunakan dalam ritual ini tersimpan konsep masyarakat mengenai sehat dan sakit, faktor-faktor timbulnya sakit, dan cara menyembuhkan orang sakit.

Seperti apa upacaranya. Yuk, Simak selengkapnya dalam ulasan berikut!

Deskripsi Upacara Ho’in Hoka’ Wekin Wolo

Upacara Ho’in Hoka’ Wekin Wolo atau upacara penyembuhan orang sakit dilakukan oleh tetua kampung atau pemangku adat yang biasa disebut ata kelake.

Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara ini adalah tetua adat/ ata kelake sebagai pemimpin upacara, keluarga besar sebagai simbol persatuan lahir batin, dan tuan tanah sebagai kunci utama dalam upacara adat.

Jika si penderita sakit yakin penyakitnya disebabkan perseteruan, maka orang yang terlibat perseteruan itu turut hadir pada saat upacara dilangsungkan. Upacara Ho’in Hoka’ Wekin Wolo dilangsungkan di rumah orang yang menderita sakit.

Upacara ini dilaksanakan dalam dua tahap.

Pertama, acara Depa Dua (rentangan tangan- tombak) yang bertujuan untuk melihat penyebab orang tersebut menderita sakit.

Penduduk wilayah Lewotala yakin bahwa bencana atau musibah yang dialami seperti penyakit yang tak kunjung sembuh, gangguan hama tanaman dan kekeringan yang panjang merupakan hukuman atau kemarahan dari roh-roh penguasa alam.

Diyakini sakit penyakit dan bencana ini disebabkan oleh pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan manusia terhadap sesamanya, terhadap roh halus, dan terhadap nenek moyang.

Pelanggaran tersebut dapat diketahui melalui sebuah upacara devinasi yang biasa disebut upacara depa dua  (rentangan tangan-kayu pembentuk tombak).

Proses acara berlangsung ditentukan oleh pertanyaan-pertanyaan akan kesalahan yang menyebabkan sakit. Tua adat mengulangi setiap pertanyaan dengan singkat, lalu berhenti dengan gerakannya sendiri.

Jika ujung jari telunjuk melewati ujung tombak, diketahuilah penyebab orang tersebut terserang penyakit.

Acara “Depa Dua” dilakukan oleh seorang tetua adat yang diyakini betul mempunyai karisma. Karisma ini biasanya didapat dari warisan leluhur.

Tahap kedua adalah upacara inti penyembuhan orang sakit, Ho’in Hoka’ Wekin Wolo. Acara inti dalam upacara ini terjadi dalam lima bagian.

Bagian pertama adalah memanggil roh para leluhur, guna dewa ‘roh pelindung kampung’, dan ‘Rera Wulan Tana Ekan’.

Bagian kedua, upacara persatuan roh leluhur, guna dewa, Tuhan dan kerabat atau orang yang terlibat dalam upacara.

Bagian ketiga ialah memberikan sesajian di tempat-tempat yang dipercayai dihuni oleh makhluk gaib.

Bagian keempat yaitu pemecahan 6 butir telur sebagai simbol memberi silih untuk menghapus kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang sakit. Kemudian dilanjutkan pemotongan hewan kurban (babi) sebagai simbol pemurnian jiwa dan penambah darah si penderita agar panjang umurnya.

Proses pelaksanaan pada tahap kedua ini dimulai dengan pemanggilan roh para leluhur, guna dewa ‘roh pelindung kampung’, dan Rera Wulan Tanah Eka ‘Wujud Tertinggi’ yang dilakukan oleh salah satu dari tetua adat yang telah dipercayakan.

Dalam proses ini, tetua adat yang dipercayakan dinamakan kaka bapa yang berarti ‘orang tua /tetua’. Tetua adat yang dipercayakan ini masih kerabat dekat dari orang sakit dan berstatus ayah.

Bahan yang disiapkan adalah satu buah sirih pinang dan satu kain sarung adat yang diletakkan dalam nyiru.

Proses pemanggilan ini dilakukan dengan cara berjalan keluar rumah menuju arah matahari terbit seraya menengadahkan nyiru yang berisi sirih pinang dan sarung adat ke arah matahari sambil mengucapkan doa permohonan dalam bahasa adat.

Proses selanjutnya adalah tahap pemberian sesajian kepada roh-roh halus di tempat-tempat yang diyakini oleh warga setempat dihuni oleh roh-roh halus.

Setelah pemberian sesajian, dilanjutkan dengan tahap pemecahan 6 butir telur dan pemotongan hewan kurban yakni babi.

Pemberian sesajian kepada Guna Dewa atau roh pelindung kampung, Roh halus di tempat-tempat yang diyakini dihuni oleh roh-roh halus. (Foto: Sutomo Hurint)

Keenam telur dan hewan kurban mempunyai fungsinya masing-masing.

Telur pertama disebut Leba Wangu Gawuk Lean berfungsi menghapus kesalahan.

Telur yang kedua disebut Bawa Let Tuber Manger berfungsi memanggil roh orang sakit masuk ke dalam rumah bersatu dengan tubuh orang sakit.

Telur yang ketiga disebut Suku Sobah berfungsi memohon ampun atas kesalahan yang telah dibuat oleh orang yang sakit baik kepada roh halus, leluhur, Tuhan maupun terhadap sesamanya, baik secara sengaja maupun tanpa sengaja.

Telur keempat, Buka Tali Honge Gorah berfungsi membuka tali pada roh orang sakit yang diikat oleh roh halus.

Telur yang kelima disebut Hodik Padak simbol persatuan lahir batin orang sakit dengan sesama.

Telur yang keenam disebut Ho’in Laga berfungsi membersihkan jiwa orang sakit.

Darah binatang kurban berfungsi menambah darah orang sakit sebagai simbol panjang umur yang dalam bahasa adat disebut Pota Mei, Hore Worak.

Sesi terakhir upacara ini dilakukan pembersihan jiwa dan raga orang sakit yang dinamakan Gelowa Wekin Wolo atau dalam bahasa setempat (Lamaholot) adalah Nilu dengan menggunakan cairan dari buah kemiri yang dikunyah oleh kepala pemangku adat yang adalah tuan tanah setempat. Kemiri disebut sebagai kemi’e.

Penggunaan kuma tonu (kunyit) untuk menyebut kemiri karena keduanya (kunyit dan kemiri) memiliki fungsi yang sama dalam budaya masyarakat Lewotala, yaitu sebagai sarana penyembuhan.

Makna Figuratif dalam Upacara Ho’in Hoka’ Wekin Wolo

Pilihan kata Hoin Hoka’ Wekin Wolo ‘membersihkan mencabut jiwa raga’ menunjukkan konsepsi masyarakat mengenai kesehatan.

Kata hoin dan hoka (membersihkan-merawat) adalah sebuah istilah yang diambil dari khazanah masyarakat petani, yakni mencabut rumput liar yang mengganggu atau menghambat pertumbuhan tanaman.

Proses pemanggilan Lera Wulan Tanah Ekan (Wujud Tertinggi) dan Roh para Leluhur oleh kaka bapa atau tetua adat (Foto: Sutomo Hurint)

Penyakit atau gangguan kesehatan dikiaskan sebagai rumput liar yang harus dibersihkan dan dicabut agar seseorang yang menderita sakit kembali sehat.

Kata wekin dan wolo ‘jiwa dan raga’ menunjukkan bahwa dalam konsepsi masyarakat Lewotala, kesehatan itu mencakup kesehatan jasmani dan kesehatan rohani.

Keduanya tidak dapat dipisahkan. Sama halnya penyakit pun mencakup penyakit/gangguan terhadap tubuh jasmani dan rohani.

Pandangan masyarakat Lewotala tentang Wujud Tertinggi, tampak dalam sapaan terhadap Wujud Tertinggi: Kaka Go Ratu Tua Rera Wula–Ama Go Nini Mete Tana Eka.

Pilihan kata pada kata Kaka ‘kakak’ dan Ama ‘bapak’ juga pada kata Ratu ‘raja’ dan Nini ‘ratu’, menunjukkan bahwa Wujud Tertinggi dipersepsi sebagai manusia.

Bagi masyarakat Lewotala, alam raya terbagi dalam oposisi kembar, yakni pihak alam atas dan pihak alam bawah.

Sebagaimana tampak dalam sapaan terhadap Wujud Tertinggi: Kaka Go Ratu Tua Rera Wula, Ama Go Nini Mete Tana Eka.

Pilihan kata Rera-Wula (matahari-bulan) dan Tana-Eka (tanah-bumi) menunjukkan bahwa alam raya dilihat dalam dualisme, yakni: pihak alam atas diwakili oleh kata Rera-Wula dan pihak alam bawah diwakili oleh Tana-Eka.

Masyarakat Lewotala mempercayai adanya karma, hal ini dapat dilihat dalam tuturan: Dei Kala Tape Unga, Sadik Kala Taro Kelawi secara harafiah berarti berdiri bersama (seperti) gelang, mengobati luka lama.

Pilihan kata Dei Kala Tape Unga dalam kalimat ini, menunjukkan bahwa masyarakat Lewotala dituntut untuk selalu hidup berdampingan dan bersatu padu seperti gelang.

Pilihan kata Sadik Kala Taro Kelawi, menunjukkan masyarakat Lewotala mempunyai pandangan bahwa sakit merupakan akibat dari suatu kesalahan yang dilakukan di masa lalu karena siklus hidup manusia dipandang berputar membentuk sebuah lingkaran. Apa yang terjadi pada saat ini merupakan rangkaian sebab-akibat dari perbuatan yang terjadi pada masa lampau.

Kearifan Lokal Masyarakat Desa Lewotala

Upacara  Ho’in Hoka’ Wekin Wolo tersimpan pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan konsepsi mengenai sehat dan sakit.

Masyarakat Lewotala tidak memisahkan antara tubuh dan jiwa namun menganggapnya sebagai sebuah kesatuan.

Oleh karenanya, konsep sehat adalah ‘kondisi yang baik pada badan dan jiwa seseorang’.

Sementara sakit adalah ‘adanya gangguan pada tubuh dan jiwa seseorang yang membuat seseorang menderita’.

Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya, sakit yang diderita dianggap sebagai karma atas  sebuah kesalahan. Oleh karena itu ritus Ho’in Hoka’ Wekin Wolodilakukan sebagai sarana pemulihan kesalahan yang telah diperbuat.

Salah satu hal yang terpenting dalam upacara ini adalah pelibatan seluruh kerabat dekat, tetangga, dan anggota suku yang bersangkutan.

Dengan begitu, terlihat bagaimana kebersamaan dan kekeluargaan merupakan wujud persatuan lahir-batin dengan sesama.

Melalui upacara ini, mereka saling mendoakan dan memberi maaf pada orang yang sakit agar disembuhkan dari sakitnya.

Hal itu dapat ditunjukkan dengan tahap Gelowa Weki Wolo atau Nilu, yakni setelah pengolesan kemiri di dahi orang yang sakit, menyusul pula pengolesan kemiri di dahi seluruh orang yang menghadiri upacara Ho’in Hoka’ Wekin Wolosebagai bentuk pemurnian jiwa-raga.

Upacara Hoin Hoka Wekin Wolo menyimpan kearifan lokal masyarakat desa Lewotala. Kesehatan yang diyakini sebagai buah dari keselarasan hidup manusia dengan alam dan sesama mengatur bagaimana cara hidup masyarakat Lewotala agar bisa rukun dan damai.

Kalaupun entah secara sengaja ataupun tanpa sengaja seorang anggota masyarakat Lewotala melakukan kesalahan, ia harus memohon pengampunan melalui upacara ini.

Kearifan lokal ini apabila dilestarikan akan mempunyai nilai tambah bagi kehalusan budi dan watak generasi muda yang semakin garang di tengah virus individualisme dan hedonisme.

Penulis: Sutomo Hurint, Jurnalis Masyarakat Adat, tinggal di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Konggres Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia (KIMLI) Tahun 2014 di Hotel Sheraton, Bandar Lampung.