Masyarakat Adat Pocoleok Antusias Ikut Konsolidasi Advokasi dan Training Paralegal

Para narasumber dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan beberapa lembaga mitra AMAN diantaranya Accountability Counsel (AC) Asia, Sajogyo Institute, Yayasan Satu Indonesia saat disambut oleh masyarakat adat Pocoleok

AMAN Nusa Bunga- Masyarakat Adat Pocoleok sangat antusias mengikuti kegiatan Konsolidasi Advokasi dan Training Paralegal yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan beberapa lembaga mitra AMAN diantaranya Accountability Counsel (AC) Asia, Sajogyo Institute, Yayasan Satu Indonesia Untuk Keadilan yang turut hadir dalam kegiatan ini.

Kegiatan yang dilaksanakan di Aula Gereja Stasi Lungar, Pocoleok pada 9 – 11 Desember 2023 ini dimaksudkan untuk menyatukan pemahaman dalam melakukan gerakan advokasi untuk mendukung perjuangan Masyarakat Adat Pocoleok dalam mempertahankan tanah ulayat dan ruang hidup serta Sumber Daya Alam Pocoleok yang diwariskan Leluhur dan memberikan pemahaman yang benar kepada Masyarakat Adat Pocoleok akan pentingnya perjuangan bersama dalam mempertahankan tanah ulayat dan Sumber Daya Alam tersebut.

Dalam sambutannya pada pembukaan kegiatan di hari Sabtu (09/12/2023), Ketua AMAN wilayah Nusa Bunga, Maximilianus Herson Loi mengatakan AMAN secara organisasi memiliki tanggungjawab besar dalam membantu perjuangan Masyarakat Adat Pocoleok dalam mempertahankan tanah ulayat dan kekayaan alam yang ada di dalamnya sehingga AMAN akan terus melakukan advokasi terhadap perjuangan Masyarakat Adat tersebut.

“Minta maaf bapa mama pejuang karena baru kali ini AMAN kembali kesini melakukan kegiatan bersama bapa mama pejuang disini. Bukan berarti AMAN diam dan tidak peduli dengan perjuangan bapa mama, namun secara organisasi, AMAN terus bekerja di tingkatan nasional untuk membantu perjuangan bapa mama,” kata Maximiliano Loi.

Aktivis muda yang akrab disapa Herson ini melanjutkan, proses perjuangan kali ini adalah bentuk penyatuan berbagai entitas dengan memiliki misi perjuangan yang sama dalam mendukung perjuangan Masyarakat Adat Pocoleok.

“Untuk melawan penguasa, kita tidak boleh terpecah belah atau berjuang sendiri – sendiri karena akan mudah dipatahkan tetapi kita harus bersatu merapatkan barisan dan tentunya dengan berbagai strategi,” lanjutnya.

Pihaknya berharap, dengan adanya kegiatan Konsolidasi Advokasi dan Training Paralegal ini, Masyarakat Adat semakin kuat dan solid dalam perjuangannya, juga dapat melakukan pemantauan terhadap semua aktivitas dengan pendokumentasian yang lebih baik terhadap kasus – kasus yang terjadi di Pocoleok.

Kegiatan Konsolidasi Advokasi dan Training Paralegal yang dihadiri oleh utusan 10 gendang di wilayah Pocoleok yang selama ini menolak kehadiran geothermal di wilayahnya tersebut memotivasi gerakan Masyarakat Adat untuk tetap berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Kesepuluh gendang yang tengah berjuang mempertahankan wilayah adatnya tersebut adalah Gendang Tere, Gendang Lungar, Gendang Mocok, Gendang Mucu, Gendang Rebak, Gendang Nderu, Gendang Mori, Gendang Cako, Gendang Ncamar dan Gendang Lelak. Dalam kegiatan ini dilakukan testimoni penolakan warga yang langsung diambil dari penuturan Masyarakat Adat kesepuluh gendang tersebut.

Masyarakat Adat Pocoleok antusias mengikuti kegiatan Konsolidasi Advokasi dan Training Paralegal

Menurut Petrus Jehaput warga Gendang Mocok, isu geothermal muncul pada tahun 2017 saat pembukaan sosialisasi yang dilakukan di Gendang Mesir oleh pihak pemerintah bersama perwakilan dari PLN yang kemudian dilanjutkan lagi sosialisasi yang sama pada tahun 2018 di Aula Stasi Lungar. Dalam sosialaisasi kedua ini pihak perusahaan mulai menampilkan gambar – gambar yang berkaitan dengan pembangunan geothermal.

“Ini adalah awal penolakan kami karena kami mulai mengerti tentang geothermal yang sesungguhnya merusak alam dan lingkungan di sekitar kami,” kata Petrus Jehaput.

Petrus menuturkan meski sudah mulai ada riak – riak penolakan dari warga namun pihak perusahaan bersikukuh tetap melakukan peninjauan lokasi di wilayah Gendang Mocok padahal mereka sudah mengetahui adanya penolakan dari warga terhadap kehadiran mereka. Pihak perusahaan berupaya menemui para tetua adat yang ada di gendang meskipun kehadiran mereka dengan tegas ditolak para tetua.

“Mereka tahu kami tolak sehingga mereka melakukan pengambilan titik pengeboran secara diam – diam tanpa sepengetahuan warga. Mereka berjalan masuk hutan dan melewati sungai untuk menuju ke lokasi yang ditargetkan,” tutur Petrus.

Petrus melanjutkan, pihaknya bersama warga Gendang Mocok pernah menangkap basah pihak perusahaan yang datang membawa peralatan ukur hendak melakukan pengukuran di titik sentral yang berada area kebun milik warga. Warga Gendang Mocok membawa semua peralatan yang dibawa tim survey untuk disimpan di rumah adat karena mereka masuk melakukan aktivitas pengukuran di kebun warga tanpa izin pemilik kebun dan tetua adat di Gendang Mocok.

“Setelah kejadian ini, muncullah istilah Tabe Gendang, yang difasilitasi oleh Camat dan Kapolsek Satar Mese dengan tujuan untuk meminta maaf karena melakukan aktivitas di kebun orang tanpa izin. Walaupun mereka meminta maaf tapi kami tidak digubris karena kami tahu maksud dan tujuan mereka sebelumnya. Dan untuk menolak kehadiran mereka kami lakukan ritual adat penolakkan untuk tidak menerima kehadiran mereka disini,” lanjut Petrus.

Petrus menambahkan kehadiran pihak perusahaan di wilayah Pocoleok diboncengi oleh pihak pemerintah yang ditandai dengan kehadiran Camat Satarmese untuk memfasilitasi tim survey melakukan pengambilan titik survey di Gendang Mocok sehingga warga menjadi tidak nyaman dengan kehadiran pemerintah itu.

“Kami jadi bingung karena tidak ada tempat untuk kami mengadu persoalan karena pemerintah telah ada di pihak perusahaan,” tambahnya.

Hal lain yang disampaikan Agustinus Tuju, tokoh Masyarakat Adat Gendang Nderu adalah munculnya persoalan baru dalam kehidupan sosial Masyarakat Adat Pocoleok yakni adanya gap dan pengelompokan masyarakat yang terdiri dari kelompok pro dan kelompok penolak yang didesain oleh pihak perusahaan agar mengacaukan sistem kekerabatan di Pocoleok.

“Selama ini kami hidup penuh dengan keakraban, saling membantu dan selalu bergotong royong membiayai anak sekolah namun setelah adanya rencana pembangunan geothermal, keadaan itu berubah jauh sekali. Ketemu berpapasan saja tidak ada lagi baku tegur, hadir dalam pelaksanaan sebuah kegiatan juga sudah tidak bersama lagi. Kelompok pro berada dengan orang – orang yang terima geothermal sementara kelompok tolak berada dengan orang – orang penolak. Tidak ada lagi baur membaur seperti dulu. Tidak ada lagi tolong menolong seperti dulu. Fenomena ini kan seharusnya tidak boleh terjadi. Saya secara pribadi tidak sepakat dengan sebuah pembangunan yang harus mengorbankan tatanan kehidupan sosial masyarakat yang selama ini telah dibangun sejak lama,” tutur Agustinus.

Aktivis yang pernah bergabung di JAGAD (baca : Jaringan Perjuangan Masyarakat Adat) NTT ini mengatakan dirinya bersama Masyarakat Adat Gendang Nderu dengan tegas menolak kehadiran pembangunan geothermal di wilayah Pocoleok karena pembangunan geothermal akan menghancurkan lingkungan, alam dan kehidupan di sekitarnya.

“Dan ini akan mengancam keberlangsungan hidup alam sekitar terutama kehidupan kami, Masyarakat Adat yang sudah berabad – abad lamanya hidup dan menetap di Pocoleok. Itulah sebabnya kami tegas menolak geothermal hadir disini,” tegas Agustinus.

Sementara itu perempuan pejuang dari Gendang Mocok, Maria Suryanti menuturkan pihak Masyarakat Adat Gendang Mocok ditipu oleh pihak perusahaan dan pemerintah yang datang melakukan survey pembangunan geothermal namun memanipulasi data – data dan merekayasa jawaban saat ditanya Masyarakat Adat terkait aktivitas yang dilakukan didalam kebun milik warga.

“Ada petugas survey yang masuk ke kebun warga tanpa izin lalu menggali tanah untuk membuat lubang, menancapkan kayu lalu membuat semacam tugu yang bertuliskan PLTP Ulumbu, melakukan pengukuran dari udara menggunakan drone. Ketika kami menanyakan aktivitas yang mereka lakukan, mereka menipu kami dengan mengatakan pengukuran jalan tani,” tutur Maria Suryanti.

Setelah melakukan penipuan terhadap Masyarakat Adat lanjut Maria, pihak perusahaan bersama pemerintah membuat skenario baru untuk bisa mendapatkan tandatangan warga melalui sebuah acara yang diberi nama “Tabe Gendang” yang mana istilah tersebut sangat asing dan baru terdengar saat itu.

Menurut penuturan Maria, pemerintah dan pihak PLN melakukan acara Tabe Gendang ini hanyalah mendapatkan tanda tangan warga dengan dalih meminta maaf kepada warga atas kesalahan pihak perusahaan yang telah melakukan kesalahan dalam pelaksanaan aktivitas pengukuran di lokasi kebun milik warga. Pemerintah dan pihak PLN secara sengaja melakukan tindakan pengukuran tanpa sepengetahuan warga dan tetua yang ada gendang.

“Mereka datang hanya bermaksud meminta warga masyarakat untuk membubuhi tandatangan di daftar hadir yang telah disiapkan tetapi berpura – pura melakukan acara Tabe Gendang. Lagi – lagi mereka kembali menipu warga dengan menyodorkan daftar hadir tanpa mencantumkan logo PLN di halaman depan daftar hadir namun berada di halaman paling belakang agar tidak terbaca oleh warga,” tutur Maria.

Pihak Masyarakat Adat berharap agar prilaku pemerintah maupun perusahaan tidak lagi menipu Masyarakat Adat dengan berbagai alasan yang direkayasa supaya bisa mengambil tanah ulayatnya untuk pembangunan geothermal.

“Dan itu tidak akan kami berikan sejengkalpun. Tanah kami ibu kami, tanah kami hidup kami. Sekali kami tolak tetap kami tolak. Mati pun kami sudah siap untuk membela tanah air titipan Leluhur kami,” tegas Petrus disambut riuh gemuruh tepuk tangan peserta yang ada di dalam ruangan.

Hal yang sama juga ditegaskan Maria dalam closing statementnya dimana untuk menjaga tanah titipan Leluhur ini mereka harus berjuang melawan aparat keamanan yang datang dengan pakaian seragam lengkap menabrak barisan warga yang sedang memblokade jalan.

“Terjadi keributan antara kami dengan aparat polisi dan TNI yang dipakai pemerintah dan pihak perusahaan untuk mengintimidasi kami tetapi kami tidak mundur sedikit pun. Bagi kami, apa yang kami perjuangkan adalah kebenaran hakiki yang kami miliki, dan tanah titipan Leluhur kami adalah hak milik kami yang harus kami jaga. Oleh karena itu kami tegaskan kepada pemerintah dan perusahaan maupun aparat keamanan jangan lagi datang mengusik kehidupan kami. Stop intimidasi dan kekerasan terhadap kami masyarakat Pocoleok,” pungkas Maria.***

Penulis : Simon Welan, AMAN Nusa Bunga