Wow, Masyarakat Adat ‘Tala Pia’ Punya Kalender Adat Sendiri

Perempuan Adat "Ina Tonu Wujo" sebagai simbol kehadiran dewi padi "Nogo Ema" dalam Upacara "Buka Keba"

Larantuka NBN– Komunitas masyarakat adat di Desa Lewotala, Kecamatan Lewolema, Kabupaten Flores Timur, rupanya mempunyai bentuk unik pemberian nama-nama bulan.

Tak seperti dalam kalender Masehi yang didasarkan pada pengitaran bulan mengelilingi bumi, penyebutan nama-nama bulan orang Lewotala mempunyai relasi erat dengan aspek sosio-kultural masyarakat di desa itu.

Adapun keunikan penyebutan dan penggolongan nama-nama bulan ini menyimpan konsep pengetahuan masyarakat lokal di Desa Lewotala, khususnya konsep pengetahuan  dalam dunia pertanian.

Berikut nama-nama bulan dalam komunitas masyarakat adat di Lewotala.

Bulan pertama adalah ‘Wulan Nikat’ atau bulan menanam. Bulan menanam ini ditandai dengan penghantaran benih padi dari lumbung padi desa yang disebut ‘Keba’ menuju ke ladang atau kebun adat ‘Ma Ora’.

 

Proses penghantaran benih padi ini dimulai dengan upacara atau ritual adat yang diiringi dengan nyanyian yang mengisahkan asal-usul Dewi Padi ‘Raran Tonu Wujo’.

Dalam bulan ini banyak sekali larangan atau pantangan bagi warga Desa Lewotala. Pantangan itu antara lain, tidak boleh membuat keributan (acara pesta, bunyi-bunyian, perkelahian, dll), tidak boleh melaut dan larangan membunuh hewan-hewan tertentu, seperti anjing.

Bagi warga yang melanggar pantangan ini, perlu dilakukan seremoni adat sebagai sarana pemulihan. Pantangan ataupun larangan ini berlaku dalam waktu yang panjang hingga memasuki masa panen.

Bulan yang kedua adalah Wulan Ga Taken yang secara harfiah berarti ‘Bulan Tidak Makan’. Sesuai penyebutannya, dahulu masyarakat Lewotala mengalami masa krisis pangan. Yang mana mereka makan seadanya dengan umbi-umbian dan pangan lokal.

Masa krisis ini dipengaruhi oleh angin kencang atau badai yang menerjang daerah Lewotala. Bulan ini masuk dalam bulan Februari jika dikaitkan dengan sistem kalender Masehi.

Pada bulan ini, masyarakat petani dilarang untuk menanam. Dan jika dilanggar, kebun yang ditanami padi pada bulan ini akan mengalami gagal panen.

Bulan yang ketiga adalah Wulan Matun. Secara harfiah, berarti ‘Bulan Rumput’. Bulan ini adalah bulan yang digunakan untuk membersihkan rumput di kebun ataupun ladang, setelah melewati masa hujan dan badai yang tak kunjung henti,

Bulan ini ditutupi dengan upacara Pau Pusaka atau Pau Kaka Bapa di rumah besar milik Kepala Suku. Dalam upacara ini, anak-anak dan orang tua wajib berkumpul di rumah besar sukunya masing-masing.

Upacara ini merupakan ucapan syukur setelah melewati badai dan memohon berkat berlimpah untuk hasil panen dari ‘Rera Wulan Tanah Ekan’ beserta para leluhur untuk berkat terhadap hidup dan panen.

Adapun kemiri dalam upacara Pau Pusaka ini dipakai pada keesokan harinya untuk dioleskan pada daun padi di setiap kebun warga. Bulan ini dalam kalender Masehi berkisar sekitar Februari hingga Maret.

Bulan keempat adalah Wulan Nalan yang secara harfiah berarti ‘Bulan Dosa’. Sesuai namanya, pada bulan ini warga dilarang membawa pulang hasil kebun atau ladang ‘Labu dan Jagung Mudah’ ke rumah.

Jika ada warga yang melanggar pantangan ini, dia harus melakukan ritual pemulihan sebagai silih terhadap kesalahan yang telah dilakukannya dengan memotong seekor kambing dan babi di kebun miliknya. Bulan ini terjadi sekitar bulan April dalam kalender Masehi.

Bulan kelima adalah Wulan Muren. Secara harfiah, berarti ‘Bulan Benar’. Pada bulan ini, warga sudah diperbolehkan membawa pulang hasil kebun atau ladang secara terbuka.

Warga diwajibkan membuat pondok di kebun masing-masing untuk persiapan menampung hasil panen.

Bulan ini ditandai dengan upacara adat di kebun adat. Upacara ini dinamai dengan upacara Kerja. Setelah upacara ini, warga diperbolehkan membawa hasil panen ke rumah masing-masing.

Bulan keenam, yakni Wulan Kolin Wain dan memiliki arti ‘Bulan Panen’. Pada bulan ini, warga dapat mulai memanen padi di ladangnya masing-masing.

Masyarakat Desa Lewotala melakukan ritual besar-besaran di kebun adat sebagai bentuk syukur atas hasil panen. Upacara ini disebut upacara ‘Haman Man’.

Upacara ‘Haman Ma’ ini sebagai tanda berhentinya bulan ‘Kolin Wain’ atau bulan panen. Bulan ini kira-kira berlangsung pada bulan Mei dalam perhitungan kalender Masehi. Orang yang lahir pada bulan ini diyakini hidupnya akan baik.

Bulan ketujuh disebut Wulan Tanah Maran. Secara harfiah, berarti ‘Bulan Tanah Kering’. Pada bulan-bulan ini, permukaan tanah pecah-pecah pertanda memasuki musim kemarau. Bulan ini berlangsung selama 2 kali. Kira-kira dari bulan Juni hingga Juli.

Bulan kedelapan adalah Wulan Lera Kakan yang secara harfiah berarti ‘Bulan Kakak Matahari’. Sesuai namanya, bulan ini adalah puncak dari musim kemarau yang mana matahari terasa sangat panas.

Hal ini berlangsung cukup lama, kira-kira memakan waktu 2 hingga 3 bulan dalam penanggalan kalender Masehi. Kira-kira dari bulan Agustus.

Wulan Hiwan. Secara harfiah, berarti ‘Bulan Sembilan’ yang merupakan bulan persiapan membuka ladang atau kebun baru.

Pada bulan ini, warga mulai mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk membuka lahan atau ladang baru dan peralatan berburu.

Lalu ada juga Wulan Piton atau ‘Bulan Tujuh’. Bulan ini adalah kelanjutan dari bulan sebelumnya. Setelah alat dan bahan disiapkan, persiapan lahan dimulai dengan memotong pohon dan membersihkan rumput di lahan garapan baru yang disebut ‘Geto Eta’.

Ada juga Wulan Lema. Secara harafiah berarti ‘Bulan Lima’. Pada bulan ini, warga membakar kayu dan rumput di ladang baru. Kegiatan membakar kayu dan rumput di ladang ini disebut ‘Seru Eta’.

Lalu, Wulan Telon yang secara harfiah, berarti ‘Bulan Tiga’. Bulan ini digunakan untuk membersihkan rumput dan puntung-puntung kayu dan membuat terasering di ladang. Tahap terakhir persiapan lahan untuk menanam.

Dari uraian tentang penyebutan nama-nama bulan ini, terbaca bahwa bentuk penamaan bulan oleh masyarakat tradisional Desa Lewotala mengikuti siklus dunia pertanian.

Hal ini dapat dilihat dari nama-nama bulan, antara lain ‘Wulan Nikat’ (Bulan Menanam); Wulan Matun ‘Bulan Rumput’; ‘Wulan Kolin Wain’ (Bulan Panen); ‘Wulan Hiwan’ (Bulan Sembilan); ‘Wulan Pito’ (Bulan Tujuh); ‘Wulan Lema’ (Bulan Lima); dan ‘Wulan Telo’ (Bulan Tiga).

Juga ‘Wulan Tanah Maran’ dan ‘Wulan Lera Kakan’ yang menggambarkan situasi yang dirasakan oleh masyarakat setempat akibat musim kemarau.

Pantangan mengenai hal yang tabu dan yang boleh dilakukan pada ‘Wulan Nalan’ dan ‘Wulan Muren’ merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat dalam rangka menjaga keselamatan hidup dan keharmonisan  sesama sebagai suatu paguyuban.

Sumber wawancara dan tulisan; 1.) Yohanes Kerobi Hurint (Ketua Komunitas Tetua  Adat Desa Lewotala); 2.) Kamus Koda Kiwan (2008), Karl-Heinz Pampus.

Masyarakat Adat Rendu Butowe, Ulupulu dan Labolewa Memberikan Solusi Kepada Pemerintahan Jokowi terkait Pembangunan Waduk Lambo

Nageko, 18/04/2017- Masyarakat adat Rendu butowe, Ulupulu dan Labolewa yang berada di kabupaten Nagekeo NTT memberikan solusi kepada pemerintahan Jokowi terkait dengan rencana pembangunan Waduk Lambo yang sampai saat ini masih menuai konflik.

Hal tersebut disampaikan oleh Hiparkus Ngange dalam dialog bersama gubernur NTT Frans Lebu Raya pada selasa (18/04) di kantor desa Rendu Butowe

“Kami Masyarakat adat di 3 komunitas telah mengusulkan lokasi alternatif dan itupun sudah disepakati bersama oleh pemerintah” Ungkap hiparkus

Hiparkus menambakan bahwa Lokasi pembangunan Waduk Lambo tersebut sudah di tawarkan oleh masyarakat dan nantinnya akan melakukan survey ulang, oleh kerena itu masyarakat di 3 komunitas adat memintah untuk dilibatkan dalam Survey. Selain itu juga diharapkan dalam proses pembangunan Waduk pembangunan lain yang menunjang kehidupan masyarakat lokal juga harus di perhatikan.

“Kami berharap, tidak hanya pembangunan waduk saja yang diperhatikan tetapi pembangunan infrastruktur lain seperti jalan, listrik dan lainnya juga harus dikerjakan juga” tuturnya

Sementara itu dalam dialog bersama masyarakat adat di 3 komunitas gubernur Frans Lebu Raya meminta dukungan dari masyarakat adat Rendu butowe, ulupulu dan labolewa agar dalam pelaksanaan pembangunan waduk Lambo yang akan dilaksanakan pada lokasi alternatif di Lowo Pebhu bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kesepakatan bersama.
Gubernur hadir di tengah masyarakat adat di 3 komunitas dengan tujuan untuk menghimbau masyarakat untuk selalu mendukung terlaksananya pembangunan waduk itu karena sejauh ini persoalan pembangunan waduk Lambo tidak mampu diselesaikan oleh Pemda Nagekeo.

“Saya datang kesini untuk memohon dukungan dari masyarakat Rendu untuk pelaksanaan pembangunan waduk Lambo” katanya.

Gubernur Lebu Raya mengungkapkan bahwa pembangunan waduk dimaksudkan untuk penyediaan stok air di saat kemarau panjang yang sering menimpa NTT dan juga dijadikan tempat wisata ataupun pembangkit tenaga listrik.

“Masalah kita di NTT adalah masalah air sehingga saya meminta presiden Jokowi untuk membangun bendungan agar memperoleh stok air yang cukup bagi kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya” tuturnya

Dalam kesempatan ini gubernur menyampaikan niat baik pemerintah untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat sehingga dalam survey dan pembangunan waduk di Lowo Pebhu pihaknya mengharapkan masyarakat untuk membantu memperlancar pembangunan waduk ini.

“Saya dan pak Goris akan datang lagi untuk melakukan diskusi lebih lanjut dengan masyarakat disini untuk pembangunan waduk ini” tambahnya (sare)

PD AMAN Flores Timur Selenggarakan MUSDA ke II

Sikka, Nusa Bunga – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Flores bagian Timur selenggarakan Musyawara Daerah dalam rangka Memperbaiki seluruh perangkat organisasi dan juga mengevaluasi seluruh perjalanan organisasi yang beberapa tahun terakhir tidak berjalan.

Musyawara daerah ini diselenggarakan di komunitas Adat Dobo desa Iantena kabupaten Maumere pada tangga 11-12 Februari 2017.

Turut terlibat dalam Musyawara Daerah ini terdiri dari komunitas-komunitas Anggota AMAN yang tersebar di kabupaten Sikka , kabupaten flores timur dan lembata serta hadir juga pengurus harian wilayah AMAN Nusa Bunga.
Menurut Laurensius Seru dalam memberi sambut dalam acara musyawara daerah ( MUSDA) tersebut mengatakan bahwa MUSDA adalah proses pengambilan keputusan tertinggi didalam organisasi ditingkatan daerah.

Lebih jauh Dikatannya MUSDA itu sendiri merupakan Proses organisasi melakukan perbaikan sistem organisasi seperti melakukan evaluasi, menyusun program dan pembenahan stuktur organisasi agar dengan cepat memfasilitasi perjuangan komunitas masyarakat adat dalam mempertahankan hak-haknya.

“MUSDA adalah sebuah mekanisme organisasi yang harus dijalankan oleh seluruh organisasi AMAN di setiap daerah. Dan urusan MUSDA itu bukan hanya mengurus pergantian ketua. Namun Musda itu ada prosesnnya seperti Evaluasi dan pertanggung jawaban, menyusun program kerja dan pergantian pengurus agar berjalan sesuai dengan tujuan perjuangan Masyarakat Adat.” Jelas Laurens

Lanjutnya “Nanti dalam kesempatan di setiap agenda harus ada evaluasi untuk memperbaiki sistem organisasi ke depannnya. Dan Penting juga dalam musywara daerah untuk merumuskan program kerja yang nantinya akan melayani kebutuhan komunitas adat yang ada di PD flores bagian Timur” katannya.

Frans Mado Panitia MUSDA dalam sambutannya juga menyatakan bahwa PD AMAN Flores bagian timur selama ini organisasinya sama sekali tidak berjalan oleh karena itu hari ini kembali di selenggarakan MUSDA untuk memperbaiki kondisi organisasi agar kembali berjalan sesuai dengan tujuan perjuangan organisasi.

“Organisasi PD AMAN Flores bagian timur sama sekali tidak berjalan hari ini kembali kita selenggarakan MUSDA yang semestinya sudah MUSDA setahun yang lalu namu ada beberapa kendala yang membuat kita belum melakukan musda maka sampai saat ini baru kita bisa buat musda” jelasnya Mado

Dalam musda itu sendiri komunitas adat yang terlibat kembali memili kepemimpianan Harian Organisasi PD AMAN flores bagian Timur yang terdiri dari Dewan AMAN daerah, Ketua PD AMAN daerah.
Mandat MUSDA dan Kepercayaan Komunitas telah memili Lorensius Nadus menjabat sebagai ketua BPH PD AMAN Flores Bagian Timur dan Yang Menjadi Ketua DAMANDA Bapak Damaskus Djem berserta empat orang Angota dewan Perwakilan dari komunitas adat. ( JFM)

Komunitas Adat Ranga laksanakan Ritual Tu Tau Tedo

Ende, NB. Komunitas adat Ranga kembali melaksanakan ritual Tu Tau Tedo pada Sabtu (14/01) di Kampung Adat Ranga Ria, Detusoko, Ende untuk melakukan penanaman serentak di kebun mosalaki pada hari Senin mendatang.

Dalam sambutannya mosalaki Ranga Siprianus Sore mengatakan bahwa ritual yang dilaksanakan saat ini merupakan ritual Tu Tau Tedo yaitu ritual musim tanam yang disimbolkan sebagai musim tanam jagung dan padi pada hari Senin mendatang di kebun mosalaki.

“Ritual ini merupakan ritual untuk tanam perdana di tahun 2017 yang dilaksanakan pada hari Senin ini” katanya.

Lebih lanjut pihaknya menjelaskan bahwa mulai Sabtu malam hingga hari Minggu malam akan dilakukan pire (hari puasa dan libur) bagi warga komunitas ( fai walu ana kalo) dan sampai pada hari Selasa tanggal 17 Januari baru akan diadakan penanaman di kebunnya masing – masing.

“Mulai malam ini sampai besok akan dilakukan pire dan pada Senin nanti akan dilakukan tanam perdana di kebun saya sehingga pada hari Selasa akan dilakukan penanaman di kebun warga masing – masing” ucapnya.

Mosalaki Sore juga menambahkan bahwa sejak Komunitas Adat Ranga bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hutan – hutan yang sebelumnya diklaim pemerintah sebagai hutan lindung oleh Dinas Kehutanan saat ini sudah diambil alih oleh Komunitas Adat Ranga dengan dipasangnya plang – plang Keputusan MK 35 tahun 2012 oleh warga komunitas.

“Dengan dukungan penuh dari AMAN wilayah Nusa Bunga, kami telah mengambil alih semua hutan yang selama ini diklaim pemerintah sebagai hutan lindung. Kami telah memasang plang Keputusan MK 35/2012 di setiap lokasi” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama dilakukan acara Geti Kolo Manu (potong kepala ayam) oleh mosalaki pu’u (kepala suku) dan ayam tersebut dibiarkan mati sendiri dengan kepala ayam terlihat menghadap kearah matahari terbit sebagai tanda bahwa tahun 2017 merupakan tahun baik bagi warga komunitas.

Sementara itu Ketua AMAN wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami dalam sambutannya mengatakan bahwa AMAN wilayah Nusa Bunga hingga saat ini tetap memperjuangkan hak komunitas adat secara menyeluruh mulai dari pendataan komunitas dan wilayah adat, advokasi masalah hukum, pemetaan sampai ke perjuangan untuk disahkan Peraturan Daerah (Perda) masyarakat adat yang sedang dalam proses untuk pengesahannya.

“AMAN secara organisasi hingga kini tetap memperjuangkan hak – hak masyarakat adat dari pendataan komunitas dan wilayah adat, advokasi masalah hukum, pemetaan sampai ke perjuangan untuk disahkan Peraturan Daerah (Perda) masyarakat adat yang sedang dalam proses pengesahannya” tuturnya.

Hal senada juga diucapkan Koordinator Devisi UKP3 AMAN wilayah Nusa Bunga Hans Gaga mengatakan bahwa AMAN Nusa Bunga siap melayani pemetaan wilayah adat komunitas adat mana pun juga yang ada di wilayah Nusa Bunga yang terdiri dari Flores bagian Barat, Flores bagian Tengah, Flores bagian Timur dan Lembata apabila komunitas adat itu meminta AMAN untuk memetakan wilayahnya dengan syarat bahwa komunitas itu telah yang telah menjadi anggota AMAN dan telah bersepakat untuk mengajukan permohonan pemetaan partisipatif wilayah adatnya ke UKP3 AMAN wilayah Nusa Bunga.

“Kami siap memetakan komunitas manapun juga asalkan komunitas itu telah bergabung dengan AMAN dan telah bersepakat untuk mengajukan permohonan pemetaan partisipatif wilayah adatnya ke UKP3 AMAN wilayah Nusa Bunga” katanya.(Simon Welan, Infokom AMAN Nusa Bunga)

AMAN Jadikan Boafeo Sebagai Pilot Project MDM

Ende, Nusa Bunga. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerjasama dengan Institute for Essensial Services Reform (IESR), Catholic Agenchy For Overseas Development (CAFOD), The International Institute for Enviroment and Development (IIED) sepakat menjadikan Komunitas Adat Boafeo sebagai pilot project untuk Model Pemenuhan Energi (MPE)atau Energi Models Delivery (EDM)

Hal ini dikemukakan oleh Ata Kita Christof, Koordinator Divisi Ekonomi Sosial Budaya (Ekosob) AMAN wilayah Nusa Bunga disela – sela kegiatan workshop Energi Models Delivery (EDM) di Boafeo pada 16 Januari 2017.
Ata Kita yang juga aktivis AMAN ini mengungkapkan bahwa terpilihnya Komunitas Boafeo sebagai tempat diadakannya workshop dan lokasi pilot project karena Boafeo termasuk anggota AMAN dengan memiliki potensi yang dapat dijadikan Model Pemenuhan Energi terbarukan.

“Boafeo dijadikan sebagai tempat workshop dan lokasi pilot project karena Boafeo termasuk anggota AMAN yang memiliki potensi yang dapat dijadikan energi terbarukan” katanya.

Lebih lanjut Ata Kita menambahkan bahwa kegiatan workshop yang dilakukan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang energi sekaligus mengajak masyarakat komunitas untuk memanfaatkan seluruh potensi yang ada karena saat ini pemerintah Indonesia mulai mencanangkan penggunaan energi terbarukan dengan memanfaatkan sumber energi yang ada di sekitar kita.

“Kita melakukan workshop ini untuk memberikan pemahaman yang dalam tentang sumber energi yang ada di sekitar kita dan kita berharap agar anggota komunitas dapat memanfaatkan energi itu sesuai kebutuhannya” lanjutnya.

Demikian halnya dengan Fabby Tumiwa, Direktur IESR Jakarta yang dalam pemamparan materinya mengungkapkan bahwa pelatihan tahap dua ini merupakan pelatihan lanjutan dari pelatihan tahap pertama yang terjadi pada bulan Desember 2016 lalu dimana pada pelatihan tahap dua ini lebih difokuskan pada penggalian data seluruh sumber potensi energi yang ada di Boafeo karena Boafeo menyimpan begitu banyak potensi alam yang dapat dijadikan energi dalam kehidupan sehari – hari.

“Ini merupakan pelatihan lanjutan setelah pelatihan pertama pada bulan Desember 2016 dengan maksud untuk menggali seluruh potensi energi yang ada di Boafeo” tuturnya.

Ditambahkan Fabby bahwa pelatihan saat ini dilakukan untuk mencaritahu prioritas kebutuhan energi yang sungguh – sungguh dibutuhkan masyarakat Boafeo dan energi yang dimaksud bukan saja berasal dari energi berupa listrik yang dihasilkan generator yang menggunakan bahan bakar fosil namun energi itu sendiri dapat dihasilkan melalui potensi alam yang ada di sekitar sehingga dengan potensi alam itu masyarakat dapat menghasilkan energi listrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan keluarga.

“Kita akan mengambil semua data yang ada di komunitas untuk mengetahui prioritas kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat Boafeo saat ini. Awalnya yang dibutuhkan adalah listrik tetapi setelah data – data itu diambil, prioritas kebutuhan bisa berubah menjadi kebutuhan lain yang menjadi sarana penunjang aktivitas sehari – hari” tuturnya.

Kepala Desa Boafeo, Quitus Ladja saat ditemui Gong AMAN.com mengungkapkan bahwa kehadiran AMAN dan mitranya IESR, CAFOD dan IIED untuk memberikan pelatihan MPE di desanya sangat membantu masyarakat karena dengan pelatihan ini wawasan masyarakat tentang energi yang sesungguhnya semakin luas dimana energi itu sendiri sebenarnya telah ada di desanya melalui potensi alam yang ada.

“Saya dan masyarakat Boafeo merasa bangga karena desa Boafeo dapat terpilih menjadi tempat diadakannya kegiatan ini karena dengan pelatihan ini, masyarakat menjadi paham tentang potensi alam dan sumber daya yang ada di Boafeo untuk dijadikan energi dalam kehidupan sehari – hari” katanya.

Pihaknya berharap agar dampak dari antusias warga yang mengikuti pelatihan ini dapat terwujud ke depannya setelah melalui proses kajian ilmiah yang dilakukan AMAN, IESR, CAFOD dan IIED sehingga dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.

“Saya berharap dengan kajian ilmiah yang dilakukan AMAN bersama mitranya IESR, CAFOD dan IIED dapat terwujud untuk membantu meningkatkan perekonomian masyarakat desa Boafeo” pungkasnya.

Demikian juga Hironimus Rea, salah seorang peserta workshop mengungkapkan bahwa pelaksanaan workshop ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Boafeo karena dirinya bersama warga lain mendapat pengetahuan gratis dan informasi energi yang sebenarnya ada di sekitar Boafeo yang selama ini tidak diketahuinya dan juga pengetahuan lain seperti bidang pendidikan, ekonomi rumahtangga, infrastruktur dan bidang lainnya.

“Saya bersyukur karena dengan adanya workshop ini pengetahuan saya tentang energi ternyata ada juga di sekitar kita. Demikian juga pengetahuan saya di bidang pendidikan, ekonomi rumahtangga, infrastruktur dan bidang lainnya bertambah” tuturnya.

Sementara itu, Ketua AMAN wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami disaat Evaluasi Kegiatan Workshop Boafeo pada, Juma’t ( 20/01/ 2017 di Aula Firdaus, Nanganesa Ende mengungkapkan bahwa sistem pembangunan saat ini adalah sistem dari bawah ke atas (button to top) sehingga apa yang dilakukan oleh AMAN dan mitranya IESR, CAFOD dan IIED merupakan salah satu strategi pembangunan berbasis masyarakat dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam melihat prioritas kebutuhan yang ada agar pembangunan itu tepat pada sasaran.

“Saat ini pemerintah menggunakan sistem pembangunan berbasis masyarakat ‘button to up’ untuk mengetahui prioritas kebutuhan yang ada di masyarakat agar pembangunan itu tepat pada sasarannya. Sistem itu saat ini dilakukan AMAN dan mitranya IESR, CAFOD dan IIED dengan melakukan pendekatan dan kajian ilmiah terhadap kebutuhan masyarakat yang ada di Boafeo” tuturnya.

Philipus yang juga anggota DPRD Kabupaten Ende ini mengharapkan agar workshop yang dilakukan dapat mencapai pada target yang diharapkan sehingga apa yang menjadi prioritas kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan kondisi real yang ada di masyarakat.

Workshop MPE ini difasilitasi oleh fasilitator ternama, H. Iskandar Leman dengan pemateri handal Ben Garside dari IIED London, Sarah Wykes dari CAFOD London, dan Fabby Tumiwa dari IESR Jakarta dengan didampingi Junika Kurniatyningsih dari IESR Jakarta dan Andry dari PB AMAN Jakarta berakhir pada tanggal 19 Januari 2017.(Simone Welan, Infokom Nusa Bunga)

PW AMAN Nusa Bunga Adakan Rapat Evaluasi Tahunan


Nusa Bunga, Ende. Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PW AMAN) Nusa Bunga melakukan rapat evaluasi tahunan yang berlangsung pada Juma’t, 23 Desember 2016 di Rumah AMAN Nusa Bunga , Jl Nuamuri Ende.

Rapat yang dipimpin langsung oleh ketua AMAN Nusa Bunga, Philipus Kami dan dihadiri oleh semua pengurus AMAN Nusa Bunga yang selama ini melaksanakan tugas dan tanggungjawab kerja meliputi wilayah daratan Flores dan Lembata.

Dalam rapat evaluasi tahunan ini, Philipus Kami mengatakan bahwa maksud dilaksanakan rapat ini adalah untuk mengevaluasi semua kegiatan yang telah dilaksanakan baik dalam bentuk program kerja tahunan maupun kegiatan yang bersifat situasional yang telah dilaksanakan oleh pengurus wilayah dalam satu tahun berjalan baik yang telah berhasil tuntas maupun yang belum tutas sesuai dengan agenda kerja yang telah dimuat dalam program kerja tahunan PW AMAN Nusa Bunga.

“Semua divisi diharapkan untuk melaporkan program – program kerja yang telah disepakati bersama untuk dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun berjalan baik yang sudah selesai dilaksanakan maupun program yang belum atau tidak berjalan sama sekali” katanya.

Philipus menambahkan bahwa masih ada beberapa program tahunan setiap divisi untuk tahun 2016 belum dilaksanakan secara optimal dan hasilnya juga belum maksimal sehingga pihaknya berharap agar di tahun 2017 setiap divisi dapat menyelesaikan program lanjutan yang saat ini belum selesai dan dapat menyusun program kerja baru di tahun 2017 ini.

“Setiap divisi telah memiliki program kerja sendiri dan ada divisi yang belum mengoptimalkan program kerja itu sehingga di tahun 2017 program kerja yang ada dapat dikerjakan secara maksimal. Oleh karena itu saya harapkan agar segera menyelesaikan program yang ada dan menyusun program kerja baru” lanjutnya.

Hadir dalam evaluasi tahunan ini Mizard Indra dari PB AMAN yang usai melakukan kunjungan kerja di Komunitas Adat Boafeo dan hendak melanjutkan kunjungan ke Komunitas Adat Dobo, Maumere.

Rapat yang dibuka dengan laporan kerja setiap divisi dan ditutup dengan diskusi perencanaan program kerja yang baru ini berlangsung begitu akrab dengan suasana kekeluargaan yang selama ini tertanam dalam diri Pengurus Wilayah AMAN Nusa Bunga.(Simone Welan, Infokom Nusa Bunga)

Masyarakat Adat Rendu adalah Warga Negara Indonesia

@perempuan Rendu
@perempuan Rendu

Kampung rendu  terletak di kecamatan Aesesa selatan Kabupaten Nagekeo Propinsi Nusa tenggara Timur. Jarak antara kota kabupaten Nagekeo ke kampung Rendu kurang lebih sekitar 30an Km  dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan memakan durasi waktu kurang lebih 1 jam. Dari kondisi geografis dan potensi alam cukup menjanjikan kalau dipandang sejenak bahwa masyarakat adat Rendu memiliki segudang sumber kekayaan Alam yang belum di manfaatkan secara baik oleh masyarakat adat Rendu.

Keindahan alamnnya serta luasan bentangan wilayah adat cukup baik  jika kita berkunjung ke komunitas/kampung itu.  Pada malam hari terdengar bunyian binatang melata yang menggambarkan antar alam dan makluk hidup di daerah tersebut  hidup saling berhubungan. Kateduhan kebisingan akan sejenak dilupakan apabila bertahan dan mendiami kampung itu serta kita bisa merasakan sunggu menyejukan hati dan sangat bersahabat. Kita juga akan bisa berbagi bersama masyarakat adat setempat sejanak menceritakan pengelaman menarik dan keunikan dari kampung rendu.

Rendu dikenal sejak duluh adalah sebuah kampung yang di huni kurang lebih penduduk sekitar 5000an orang  penduduk dengan hidup bergantung sumber pertanian dan potensi alam yang ada di wilayah itu. Banyak orang meyakini bahwa wilayah kampung rendu memiliki kehidupan masa depan yang menjanjikan apabila di jaga dan dipergunakan sebai-baiknnya oleh warga masyarakat di komunitas adat tersebut.

Disisi yang lain kehidupan masyarakat adat rendu sangat bersahabat dengan siapa saja yang ingin berkunjung ke kampung itu. Namun persahabatan itu akan sirna saat ini, sebab masyarakat adat rendu mengalami sebuah persoalan besar yang memecah belah kehidupan yang terjalin dengan baik sejak dahulu secara turun temurun.

Menurut cerita sesunggunya Masyarakat rendu mempunyai jiwa berjuang yang diwarisi secara turun temurun dalam merebut dan mempertahankan wilayah kehidupan. Jiwa perjuangan itu di warisi oleh nenek moyang orang rendu untuk mempertahankan tanah, dan seluruh sumber potensi kekayaan Alam yang ada di komunitas adat Rendu

Komunitas adat rendu di kenal kemana saja namun didalam Rendu itu sendiri terdiri beberapa kampung yaitu kampung Rendu Butowe,Ulupulu,Labolewa serta rendu ola yang merupakan kampung tertua.

Ketika masyarakat adat Rendu memiliki semua yang di titipan leluhur  untuk dijaga hingga sekarang ini, namun dengan sengaja dan karena menginginkan  kebutuhan yang instal  maka, wilayah kehidupannya  orang rendu mau digadaikan kepada pihak luar yang ingin menguasai wilayah kesuburan  itu.

Cerita tokoh-tokoh tua orang rendu bahwa dalam mempertahankan tanah membutukan perjuangan sebab tanah yang di tempatkan saat ini adalah tanah hasil perjuangan dengnan mengorbankan jiwa banyak orang hanya ingin generasi saat ini kehidupannya bisa lebih baik. Dan dahulu nenek moyang orang rendu memperjuangkan tanah dengan kucuran darah demi mempertahankan tanah dan wilayah kehidupan itu.

Wilayah kehidupan orang rendu sejak dahulu sudah di jaga baik oleh tetua-tetua demi melindungi kehidupan kenerasi ribuan tahun yang akan datang.

Seorang ibu yang bernama Fransiska dengan kondisi umur kurang lebih 70 an tahun mengatakan bahwa mempertahankan tanah adalah mempertahankan hidup. Semua manusia di dunia ini akan hidup jika ada tanah.

Menurutnya tanah adalah harta warisan yang tidak akan habis terpakai.  Tanah sangat erat kaitannya dengan perempuan. Jika tanah itu di seroboti di rusaki ataupun tidak pergunakan secara baik maka akan menjadi korban untuk semua orang. Sama halnya sama perempuan, kalau perempuan melahirkan anak tidak ada tanah yang akan memberikan penghidupan untuk seorang manusia maka, mau kemana manusia bisa

hidup.

“Tanah kami adalah kehidupan kami, karna kami perempuan yang sangat merasakan dampaknnya, kalau kami melahirkan anak sementara tidak adat tanah, anak kami mau kemanakan?”,Kata mama Fransiska.

Mama fransiska juga menjelaskan kalau tanah itu tidak lagi berkembang sementara manusia itu terus berkembang, jadi pemerintah harus memikirkan itu.

“ Tanah itu tidak lagi berkembang sedangkan manusia itu terus berkembang jadi pemerintah harus memikirkan itu”,Jelasnya.

Kehidupan masyarakat rendu sebelumnya adalah baik dan penuh rasa kekeluargaan mulai dari Rendu butowe, ulupulu dan Labolewa. Namun sekarang ini kehidupan mereka terpecahkan ataupun terkotak-kotak hanya karna ingin selembar uang dan mengorbankan wilayah kehidupan semua orang yang hidup di rendu.

Warga rendu sejak dahulu sudah mulai hidup bertani di tanah rendu sebab tanah rendu adalah tanah yang subur. Di wilayah itu cocok untuk semua tanaman baik itu pertanian perkebuanan, ataupun ternak. Wilayah cukup luas dan sangat menjanjikan untuk orang rendu hidup baik dari genereasi-ke generasi.

Terpecah belah warga rendu saat ini hanya karena program Pemerintah pusat yang ingin pembangunan waduk di wilayah  Rendu butowe, Ulupulu dan labolewa. Tujuan Pemerintah untuk di bangunnya waduk lambo sebenarnya baik jikalau dalam proses pelaksanaan mulai dari musyawara dan menentukan pelaksanaan pembangunan itu melibatkan orang yang mempunyai pemilik atas tanah itu.

Program pemerintah pun semestinnya menjawab penderitaan masyarakat dan harus memberi rasa nyaman untuk masyarakat Rendu.

Peristiwa yang terjadi di Rendu saat ini terkait dengan Pembangunan Mega proyek Waduk lambo oleh Pemerintah Nagekeo yang di dengungkan adalah program dari pusat dengan besar anggaran satu triliun rupiah.

Namun, pada Perjalanannnya Pemda mengabaikan konsep partisipatif yang transparasi dengan masyarakat terkait dengan pembangunan Waduk Lambo. Selain itu, Pemerintah tidak memperhitungkan kajian dampak lingkungan terhadap pembangunan waduk tersebut, apakah berdampak postif atau negatif pada kehidupan masyarakat.

Memang benar, harus kita bersyukur dengan terpilihnya Joko widodo menjadi presiden ke tujuh Republik Indonesia sedikit membawa angin segar terhadap pembangunan di wilayah Indonesia bagian Timur lebih khususnya propinsi seribu pulau Nusa Tenggara Timur (NTT). Saking segarnya angin kemudian masyarakat NTT  khususnya kabupaten yang menterjemahkan program jokowi sampai kebablasan. Seharusnya kalau mau membangun apapun bentuknnya harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat bukan sebaliknnya menindas kembali masyarakat.

Salah satu kabupaten yang sangat kebablasan adalah kabupaten Nagekeo dengan alasan program dari pusat Pemda lupa bahwa di lokasi yang di tetapkan sebagai lokus pembangunan itu sama sekali tidak ada penghuni. Padahal Lokasi yang di tetapkan itu adalah lokasi milik komunal mempunyai hak atas tanah.

Rencana pemda Nagekeo untuk membangun waduk mega proyek semestinnya melibatkan partisipatif masyarakat. Pemda harus menghormati komunitas adat yang mempunyai hak atas tanah dan juga memperhatikan dampak kehidupan sosial masyarakat di daerah itu.

Sasaran pembangunan waduk adalah membutukan luasan wilayah tanah sementara dalam proses untuk merencanakan pembangunan waduk tersebut tidak melibatkan pemilik atas tanah ulayat tersebut. (bersambang)