Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA) merupakan Perda Inisiatif DPRD Kabupaten Ende dan masuk dalam pogram legislasi daerah pada tahun 2015. Rentan waktu dari tahun 2015 hingga tahun ini tidak terlihat adanya keseriusan lembaga DPRD untuk melakukan pembahasan dan penetapan. Masyarakat adat berulang-ulang melakukan hearing bersama DPRD Kabupaten Ende. Hearing ini bertujuan untuk mempertanyakan perkembangan Perda itu dan sejauh mana kerja-kerja lembaga untuk melakukan pembahasan dan penetapannya namun dalam setiap pertemuan, lembaga selalu memberikan janji yang muluk kepada masyarakat adat dengan mengatakan akan ditetapkan dalam waktu dekat.
Beberapa bulan lalu AMAN melakukan hearing bersama lembaga DPRD. Lembaga DPRD menyampaikan akan dibahas dan ditetapkan pada perubahan anggaran di bulan sepetember tahun ini. Namun dalam rentan waktu bulan Sepetember hingga sekarang, tidak kelihatan kerja-kerja lembaga.
Lembaga DPRD Kabupaten Ende hingga saat ini tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri. Ketidakkonsistenan ini sangat berpengaruh pada kepercayaaan publik kepada wakil rakyat kita karena Perda PPHMA secara langsung sangat menyentuh kehidupan masyarakat adat di Kabupaten Ende yang sangat melekat dengan adat dan budaya. Dan ini menjadi kebutuhan konstituen saat ini. Olehnya itu sangat jelas implikasi politiknya.
Penulis mencoba menjabarkan beberapa alasan terkait dengan lambannya penetapan Perda masyarakat adat. Pertama lembaga DPRD tidak memahami alur legislasi daerah tentang masyarakat adat, kedua, lembaga tidak memiliki kemauan politik untuk melakukan pembahasan dan penetapan Perda masyarakat adat. Perlu publik mengetahui alasan DPRD belum melakukan pembahasan dan penetapan Perda ini karena persoalan substansi dan janjinya akan melakukan pendalaman substansi. Sejauh ini lembaga DPRD tidak melakukan kerja-kerja konkrit sebagai dukungan statementnya.
Lembaga DPRD Kabupaten Ende juga perlu memahami bahwa Perda ini juga akan menunjukan sinergitas kerja antara eksekutif dan legislatif. Karena Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel dan Jafar) menggagas membangun Ende dengan tiga (3) batu tungku dan salah satunya adalah masyarakat adat. Kita jangan memahami urusan masyarakat adat itu hanya sebatas ceremonial-ceremonial saja. Berbicara mayarakat adat harus berbicara secara komprehensif. Masyarakat adat itu akan bersentuhan dengan sejarah asal-usul, wilayah adat, kelembagaan adat dan peradilan adat serta pengelolaan sumber daya alam. Untuk mendukung program tiga (3) batu tungku tersebut maka Perda inilah yang memperkuat program kerjanya Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Jafar). Dengan tidak terurusnya Perda ini menandakan bahwa DPRD Kabupaten Ende tidak mendukung program kerja Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Djafar).
Ketika berbicara payung hukum, konstitusi kita sangat jelas mengatur keberadaan masyarakat adat. Disamping itu juga didukung dengan undang-undang sektoral salah satunya undang-undang otonomi daerah yang sangat jelas memandatkan pengakuan masyarakat adat melalui Perda. Olehnya itu Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende dibenarkan secara hukum dan dibenarkan pula secara fakta yang terjadi di lapangan.
Sekali lagi penulis katakan bahwa DPRD Kabupaten Ende harus menganalisis lebih jauh dan cerdas melihat Perda ini karena Perda PPHMA merupakan jembatan untuk memulihkan hubungan daerah dengan masyarakat adat yang selama ini tidak terurus. Perda ini juga sebagai payung hukum daerah dan untuk mengkonkritkan program tiga (3) batu tungku yang digagas oleh Bupati dan Wakil Bupati Ende (Marsel-Jafar) yangmana salah satu tungkunya adalah masyarakat adat.
Harapan dari tulisan ini agar lembaga DPRD Kabupaten Ende harus segera membahas dan menetapkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende untuk mendukung pembangunan daerah.(Edited by Simone welan, Infokom PW AMAN Nusa Bunga)
Daud P. Tambo, S.H, lahir di Ende, 4 Agustus 1986 adalah Alumni Fakultas Hukum Universitas Flores, Ende dan tinggal di Ende. Semasa kuliah aktif di organisasi LMND Eksekot Ende ( Devisi Perluasan Organisasi).
Bergabung di organisasi AMAN Wilayah Nusa Bunga , Direktorat Advokasi Hukum dan HAM. Peneliti sekaligus penulis Buku Konflik Agraria 40 kasus di Kawasan Hutan Indonesia. Penulis dan Peneliti Etnografi dengan judul : Masyarakat Adat Colol dan Golo Lebo Gugur Berkalang Tanah dan Bertarung Tiada Lelah Demi Tanah Warisan Leluhur, Penerbit : Sajogyo Institute, Jl. Malabar No. 2, Bogor 16151
Pendampingan kasus melalui Metode Inquiri Nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM pada Tahun 2014: Tragedi Berdarah Colol dan Pertambangan Mangan di Manggarai Timur.
Melakukan penelitia pasca Inquiri Nasional bersama Bina Desa dan sojogyo Institute dengan judul : Konflik Horizontal Pasca Inkuiri Nasional di Rembong (Golo Lebo) Manggarai Timur, tahun 2015
Tim Penulis : Naskah Akademik dan Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende
Saat ini sedang mendampingi kasus masyarakat adat Rendu Butowe, Kab. Nagekeo dengan tipologi konflik pembangunan waduk lambo.(Edited by Simone Welan, Infokom AMAN Nusa Bunga)